Jenazah [Ingatan dalam Ingatan]

Mencoba mengingatkanku lagi, suatu saat manusia pasti akan terkulai lemah; menjadi jenazah :c.

"Buku Pintar Calon Penghuni Surga; Mempersiapkan Kematian Menuju Kehidupan Akhir yang Bahagia", karya Khozin Abu Faqih, begitu menggugah. Buah karya setebal lima ratusan halaman ini memacu ghirah kita tuk berusaha menggapai khusnul khotimah. Dirangkai pula dengan mengajarkan hakikat kematian :f.

Kematian? Hmmm... Pekan lalu, kelinciku mati.

Awalnya keponakanku, Shila yang masih berusia tiga tahun, memandikannya berkali-kali. Setelah itu kelinci tersebut tak bergerak. Entah apa sebabnya. Apa karena cara memandikannya yang salah atau karena 'kontrak' kelinci itu telah habis. Satu hal yang pasti kelinciku telah kembali pada Sang Khalik.

Sebelum dimakamkan ---tanpa nisan sih hehe :r---, kupandangi jasad hewan itu. Lemah. Tak berdaya. Tapi tak ada tanda-tanda raut kekhawatiran di wajahnya. Sebaliknya, seperti memancarkan senyum.

Tiba-tiba ingatanku seperti ditarik pada kejadian beberapa waktu lampau. Memori kecilku berputar, mencari, dan berhenti pada satu peristiwa kecelakaan motor.

Saat itu, salah satu pengendara motor, mungkin, sepertinya kurang beruntung. Ia tergeletak di ruas jalan raya. Dikerumuni puluhan orang. Aku penasaran. Khawatir, korban tersebut kerabat atau keluargaku. Nafasku lega, ternyata korban yang berjenis kelamin pria itu tak kukenali.

Namun, kelegaanku tak berlangsung lama. Jantungku berdetak. Keras sekali. Yah, meski bukan orang yang kukenal, tapi rasa penasaran untuk melihat korban begitu besar. Ku hampiri pria yang telah ditutupi koran itu.

Deg! Masya Allah. Begitu korannya ku buka, kondisi korban begitu mengenaskan. Rahang kirinya menganga sekitar lima sentimeter. Kulitnya terkelupas. Darahnya terus mengalir. Deras. Bagian rahang itu pun jatuh ke aspal. Tak lagi menyatu. Warga yang melihat ada yang berteriak :c.

Sebagiannya lagi mengucap Takbir. Ku berusaha mengembalikan potongan kulit itu, tapi jatuh lagi. Aku sempat bingung, darahnya masih terus saja mengalir tapi bukan dari depan. Kucuran darah itu berasal dari bawah kepalanya.

"Mas, darahnya masih ngucur tuh. Coba angkat kepalanya! Mungkin bisa diberhentikan," kata seorang di belakangku. Aku tak mau melakukannya:(. Karena tak tega menyakiti jenazah. Tak lama aparat meluncur. Dua petugas kepolisian memeriksa jenazah itu.

Dan, kepala korban diangkat. Astaghfirullah. Ada lubang di bagian belakang kepalanya dengan diameter sekitar tiga sampai empat senti. Ternyata sumber darah yang mengucur berasal dari lubang itu.

Kata para saksi; si pengendara sempat terjungkal ke atas dan kepalanya menancap ke pagar yang berada di trotoar. Kemudian korban terhantam motor di belakangnya ---yang salah yang bikin pagar di trotoar :@, apa pengendara ato takdirnya---.

Selang beberapa menit, petugas berhasil mengamankan lokasi. Tapi aku masih berada di samping korban. Jenazah tersebut dikembalikan dalam keadaan serupa. Terlentang.

Tapi... Jantungku kembali berdetak. Lebih kencang. Melihat raut wajah korban yang memancarkan ketakutan. Bisa juga menandakan kesakitan. Matanya melotot. Belum bisa dipejamkan. Ku usap berulang-ulang. Masih belum terpejam.

Ku coba panjatkan doa. Kedua bola matanya kembali ku usap. Masih tak terpejam. Mendelik. "Ya Allah, semoga jenazah ini Kau ampuni. Semoga sakaratul mautnya menjadi penebus dosanya. Mohon, tutuplah mata itu," lirihku dalam hati. Alhamdulillah doaku dikabulkan. Matanya mampu menutup sempurna.

Aku mundur. Sedikit menjauhi jenazah itu. Tapi bola mataku masi menatap wajahnya. Ingatanku terbawa lagi. Seperti berlari. Lebih cepat. Aku masih menatap wajahnya. Kali ini sambil berdiri; tapi ingatanku menerawang pada kejadian lain di tahun-tahun sebelumnya.

Aku jadi ingat kawan sekolahku di STM Negeri Boedi Oetomo, Jakarta Pusat. Kala itu, tawuran menjadi menu di sekolah kami. Itu terjadi karena keterpaksaan. Terjadi setiap hari. Pulang maupun pergi sekolah. Dan, ingatanku berhenti pada peristiwa pesta kelulusan.

Menjelang Maghrib. Kami berkumpul di terminal Lebak Bulus. Ah, bodoh sekali waktu itu. Sekolah pagi tapi pulang selalu malam. Minimal sore. Padahal rumahku sendiri di bilangan Jakarta Timur. Gumprang..Gumprang...Brak Brak.

Ketika asik bercanda bersama kawan, tiba-tiba puluhan pelajar berseragam menyerang kami. Mereka turun dari atas truk. Perkelahian tak mampu dihindarkan. Batu, kayu beterbangan. Senjata tajam beradu. Ada yang berlari. Ada yang mengaduh.

Auuuuuwww. Aku dikejutkan sebuah suara. Teriakan itu milik kawanku. Ia tersabet senjata tajam. Bagian belakang kepalanya robek. Darahny muncrat. Kerah seragamnya memerah. Ia terus mengaduh. Berusaha menahan rasa sakit. Tapi, ia masih bisa melemparkan senyumnya. Tak semanis senyumnya di saat sehat. "Aduh sakit banget. Tapi, gue gak pape kok," katanya berusaha menenangkan yang lain.

Kendati demikian, suasana bertambah crowded. Mencekam. Sebagian kawan lain mengejar pelaku. Bersama yang lainnya, aku berusaha memegang kerabatku. Dari insiden tawuran itu, ada pelajar yang meregang nyawa sia-sia. Adzan Maghrib berkumandang. Dan, tiiiiiinggg...

Selanjutnya ada suara lain yang cukup menganggu; Ngiu..ngiu ngiu ngiu ngiu. Tiba-tiba layar memoriku buram. Tak mampu lagi mengingat kejadian tawuran itu. Aku terhenyak. Suara Ambulance memcahkan lamunanku. Ingatanku kembali fokus pada jenazah korban kecelakaan motor di depanku. Aku tak tau secara pasti. Berapa lama ingatanku berkelana.

Jenazah itu akan dibawa petugas. Kemudian, puluhan warga yang berkumpul, satu per satu bubar tanpa dikomando. Kala itu, jantungku masih berdetak. Namun, lebih pelan. Inna lillahi wa inna ilaihi ra'jiun.

Aku sama sekali tak bermasud membuka aib jenazah pengendara motor. Sebaliknya, aku masih memiliki keyakinan meski fisik luarnya mengenaskan, bisa jadi ia menutup kalimat terakhirnya dengan Syahadat, amin. Bisa juga cara kematiannya menjadi penghapus dosanya di dunia, amin.

Ini bukan juga resensi ---halah---. Namun, "Buku Pintar Calon Penghuni Surga" itu, telah mengingatkanku kembali tentang sebuah kematian. Kita tentu akan menjadi jenazah. Entah di darat, udara, atau laut. Dan, entah kapan ajal itu tiba. Bisa dalam kecelakaan, dalam perang, dalam damai, saat perjalanan, dalam tidur, atau di atas meja kerja. Ah, smoga saja bisa wafat di depan Ka'bah, atau bertemu Izrail dalam derajat Syahid, amin amin.

Suatu saat aku pasti dijemput ajal. Kita semua. Tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui bagaimana cara kematian kita. Tak ada yang mampu menjamin akhir hayat kita bisa ditutup dengan tersenyum, tenang, dan menunjukkan kebahagiaan. Sekalipun Presiden atau Ustadz.

Sebaliknya, bisa saja meski menutup hidupnya dengan senyum tapi dirinya dalam keadaan tak beriman. Naudzubillah. Tapi, ku selalu berdoa dan berharap kita semua bisa dijauhi dari kematian dalam keadaan mata melotot, lidah menjulur, tanpa iman, tanpa bekal apapun.

Mari siapkan kematian. Semoga akhir hayat ini mampu ditutup dengan khusnul khotimah, bukan su'ul khotimah. Mampu ditutup dengan bekal yang laik, iman yang tebal, serta menghadap Sang Khalik dengan wajah yang sumringah. Penuh kebahagiaan. Kerinduan membuncah.

Seperti kelinci kecilku. Lemah. Tak berdaya. Tapi masih menyunggingkan senyum lucunya. Syukur bisa seperti para Mujahid yang menyambut bidadari Surganya. Atau seperti tokoh-tokoh yang diabadikan dalam dalil Quran, Sunnah, atau cerita yang dikisahkan dalam tausiyah-tausiyah para Ustadz tentang cara kematian calon penghuni surga.

Pada akhirnya tak ada masalah yang patut kita khawatirkan, mungkin, kecuali hanya mengkhawatirkan masalah bagaimana kita menyiapkan kematian.

Semoga kesibukan pemilu tak menjadikan kita lupa pada 'satu agenda yang pasti datang'. Pun, kegalauan hati tentang masalah sehari-hari tak mengalahkan kerisauan diri menyambut datangnya kematian---Deu, berat oey, tapi bisa ya hehe amin---

Pada saat yang sama, smoga kita bisa bersyukur dalam kondisi apapun jua. Bukankah Maha Aziz telah mengingatkan, "Fabiayyi alaa irabbikumma tukadziban." Demikian Firman yang diulang-ulang dalam Ar Rahman.

Seperti dalam novel "Rembulan Tenggelam di Wajahmu", karya Tere Liye. Novel yang diterbitkan Republika ini, menjawab lima dari yang lima, mengajarkan rentetan makna hidup. Tak menutup kemungkinan, apa yang kita alami saat ini berasal dari rangkaian sebab-akibat.

Begitu pula apa yang dilakukan saat ini, bisa mengakibatkan cara kematian dan penutupan hidup di masa mendatang. Mungkin. Seperti kisah pilu yang dialami Diar, yang wafat karena ulah sahabatnya, si Rai ---tokoh di novel tsb---.

Yuk berdoa. Ya Rabbul Ghaffar, mudahkan kami dalam sakaratul maut nanti. Tempatkan kami dalam surga-Mu. Dan, pertemukanlah kami dengan Engkau, para Rasul, para Mujahid, dan para penghuni surga lainnya. Amin. Wallahu `alamu.

Template others blog by : kendhin x-template.blogspot.com